GOTVNEWS, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, mengungkapkan bahwa sebanyak 300 terpidana mati belum dieksekusi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Menurut Yusril, sebagian besar penundaan ini disebabkan oleh masalah diplomasi, terutama yang melibatkan warga negara asing (WNA). Dalam kasus seperti ini, pelaksanaan eksekusi membutuhkan arahan langsung dari Presiden.
“Persoalannya karena ini menyangkut negara-negara lain, pertimbangan kemanusiaan, dan lain-lain,” kata Yusril belum lama ini di Jakarta.
“Orang mengajukan grasi kepada presiden, akibatnya banyak sekali pelaksanaan hukuman mati itu yang tertunda pelaksanaannya,” sambungnya.
Yusril menyatakan bahwa pihaknya terus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, yang memiliki kewenangan dalam pelaksanaan eksekusi mati. Terutama, koordinasi difokuskan pada kasus-kasus yang melibatkan WNA.
Dalam beberapa situasi, pemerintah Indonesia memutuskan untuk memulangkan terpidana mati WNA ke negara asalnya. Contohnya adalah kasus Mary Jane Veloso dari Filipina dan Serge Areski Atlaoui dari Prancis.
Sebelum pemulangan, Yusril mengirimkan surat kepada Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, menjelaskan bahwa keputusan tersebut telah disetujui oleh Presiden Prabowo Subianto.
“Karena pada akhirnya mengenai pertimbangan narapidana dieksekusi mati atau tidak, maupun dilakukan transfer of prisoner ke negara asalnya, semuanya merupakan arahan dari Pak Presiden sendiri,” jelas Yusril.
Sementara itu, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan bahwa sebagian besar dari 300 terpidana mati adalah WNA, terutama yang terlibat dalam kasus narkoba. Para terpidana berasal dari berbagai negara, termasuk Eropa, Amerika, dan Nigeria.
Burhanuddin menyebutkan, pemerintah bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri untuk menangani kasus ini. Namun, diplomasi sering kali menjadi penghambat utama.
“Kami pernah beberapa kali bicara, waktu itu Menteri Luar Negerinya masih Ibu (Retno Marsudi, red.). Dia mengungkapkan kalau mereka masih berusaha untuk menjadi anggota ini, anggota itu. Tolong jangan dahulu, nanti kami akan diserang,” kata Burhanuddin.
Ia juga menyoroti pentingnya mempertimbangkan nasib WNI yang menjadi terpidana mati di negara lain. Menurutnya, pelaksanaan hukuman mati terhadap WNA di Indonesia dapat memengaruhi perlakuan terhadap WNI yang menghadapi hukuman serupa di luar negeri.
“Jadi, memang saya bilang, capek-capek kami sudah menuntut hukuman mati, tidak bisa dilaksanakan. Itu mungkin problematika kita,” ujarnya.
Dengan berbagai kendala, mulai dari diplomasi hingga pertimbangan kemanusiaan, pelaksanaan eksekusi mati bagi terpidana, khususnya WNA, masih menjadi isu yang kompleks.
Pemerintah berupaya mencari solusi terbaik agar penegakan hukum berjalan tanpa mengesampingkan hubungan internasional dan perlindungan bagi WNI di luar negeri. (Alt)