GOTVNEWS, Batam – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepri mengeluarkan maklumat dan pernyataan sikap terkait konflik di Pulau Rempang, Batam.
Konflik berawal dari adanya rencana relokasi 16 Kampung Tua di Pulau Rempang, Galang, Batam, yang bakal dijadikan kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City dengan nilai investasi mencapai Rp 381 triliun.
Akibatnya, sejumlah warga di Kampung Tua Pulau Rempang menolak direlokasi hingga memicu terjadinya aksi bentrokan antar warga dan aparat kemanan.
Terkait hal itu, Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepri telah mengeluarkan maklumat, soal rencana relokasi masyarakat melayu di Pulau Rempang Galang, Kota Batam dan juga membuktikan terkait keberadaan masyarakat penghuni Pulau Rempang.
Ketua LAM Kepri, Abdul Razak menyebut, masyarakat Rempang sudah ada sejak turun menurun dan bermukim di pulau tersebut. Mereka bahkan sudah ada sebelum BP Batam terbentuk pada tahun 1971.
LAM Kepri juga menegaskan tetap mendukung jika Pemerintah pusat maupun Batam melakukan investasi.
Namun, LAM Kepri menolak apabila masyarakat yang sudah tinggal ratusan tahun di Pulau Rempang dan Pulau Galang itu direlokasi.
Sementara itu, Ahlul Fadli, Koordinator Media dan Penegakan Hukum, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau Menyebut, Keputusan memberikan seluruh lahan kepada investor adalah sikap yang tidak memihak kepada rakyat dan berdampak pada 16 kampung tua Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat yang sudah bermukim di Pulau Rempang setidaknya sejak tahun 1834.
Keberadaan awal penduduk di Pulau Rempang bisa ditelusuri dalam catatan arsip Belanda dan Kesultanan Riau Lingga.
Setidaknya sejak Abad 19, sejumlah sumber Belanda dan arsip Kesultanan Riau Lingga menunjukkan daerah Rempang dan Galang sudah ramai penduduk.
Keberadaan asli penduduk di Pulau Rempang ini juga pernah diulas oleh Republika pada tahun 2014 silam. Ulasan tersebut juga ada di laman resmi Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.(Frh)