MetropolisOpini

Memperjuangkan Nasib Pegawai Honorer Daerah

Oleh: H. Bahktiar, Lc, MA
Wakil Ketua III DPRD Kepulauan Riau dan Ketua DPW PKS Kepulauan Riau

Tahniah penulis ucapkan kepada seluruh pegawai honorer se Kepri yang sudah lulus seleksi  PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang beberapa pekan terakhir ini telah diumumkan kelulusannya. Namun, sebagian peserta yang mengikuti tes atau seleksi ada juga yang belum lulus dan belum mengikuti tes perlu jadi perhatian tersendiri. 

Seperti yang diskemakan pemerintah yang menyiapkan untuk tenaga honorer yang tidak lolos seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) 2024 bahwa Honorer atau tenaga non-aparatur sipil negara (non-ASN) yang tidak lolos PPPK dapat diangkat menjadi PPPK Paruh Waktu. 

Skema tersebut telah tercantum dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kepmenpan-RB) Nomor 347 Tahun 2024 tentang Mekanisme Seleksi PPPK Tahun Anggaran 2024. 

Saat ini, prihal ini menjadi polemik. Dari berbagai daerah relatif banyak pegawai honorer lama yang datang ke Kantor DPRD untuk RDP (Rapat Dengar Pendapat). Harus kita akui bersama pegawai honorer daerah selama ini telah lama menjadi tulang punggung berbagai instansi pemerintah di daerah, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga administrasi publik. 

Meski memiliki kontribusi besar, status dan kesejahteraan mereka masih menjadi perhatian serius. Salah satu bentuk pengakuan yang diupayakan pemerintah adalah pengangkatan honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). 

Namun, banyak honorer yang menghadapi tantangan besar, terutama mereka yang tidak lulus seleksi PPPK tahap 1 dan mungkin saja yang belum mengikuti tes atau seleksi yang akan mengikuti tes ke depannya..

Mengapa Perjuangan Ini Penting?

Honorer telah bertahun-tahun mengabdi, bahkan di tengah keterbatasan fasilitas dan upah yang tidak layak. Mereka adalah pilar utama dalam memberikan layanan publik, terutama di daerah terpencil. Kegagalan dalam seleksi PPPK tahap 1 seharusnya tidak menghapus pengabdian mereka selama ini. 

Banyak honorer yang tidak lulus seleksi menghadapi kendala teknis seperti kurangnya akses terhadap pelatihan, materi ujian yang tidak relevan, atau kriteria seleksi yang terlalu ketat tanpa mempertimbangkan pengalaman kerja.

Status sebagai PPPK membawa peningkatan dalam penghasilan, jaminan sosial, dan perlindungan kerja. Hal ini sangat dibutuhkan oleh honorer untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Hal inilah yang menurut hemat penulis penting untuk kita memikirkan nasib mereka sekaligus mengambil langkah-langkah konkrit terkait yang belum lulus dan mungkin tidak setuju dengan skema paruh waktu dan yang akan mengikuti tes tahap berikutnya.

Ada beberapa langkah penting yang menurut hemat penulis perlu dilakukan. Pertama, Evaluasi Ulang Mekanisme Seleksi. Pemerintah perlu mengevaluasi proses seleksi PPPK, khususnya tahap pertama, untuk memastikan bahwa kriteria yang digunakan lebih inklusif dan memperhitungkan pengalaman kerja honorer. Ujian berbasis pengalaman kerja dapat menjadi alternatif yang lebih adil.

Kedua, Pelatihan dan Pendampingan. Penting memberikan pelatihan khusus kepada honorer sebelum pelaksanaan seleksi lanjutan sangat penting. Hal ini mencakup bimbingan teknis, penguasaan materi, dan simulasi ujian. Ketiga, Advokasi Melalui Serikat dan Organisasi. Honorer dapat membentuk aliansi atau serikat pekerja untuk menyuarakan aspirasi mereka. Kolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil juga dapat memperkuat advokasi di tingkat nasional.

Keempat, Revisi Kebijakan Pemerintah. Pemerintah dapat mempertimbangkan pengangkatan otomatis bagi honorer yang telah bekerja lebih dari 10 tahun, khususnya di sektor yang membutuhkan tenaga ahli seperti guru, tenaga kesehatan, dan administrasi.

Kelima, Dukungan Publik dan Media. Pentingnya ke depan menggalang dukungan dari masyarakat luas melalui media sosial, petisi online, atau diskusi publik dapat menambah tekanan kepada pemerintah untuk segera mengambil tindakan.

Bagi honorer yang tidak lulus seleksi PPPK tahap 1, tidak lulus bukanlah akhir perjuangan. Pemerintah harus membuka peluang seleksi tahap berikutnya dengan sistem yang lebih adil dan terjangkau. Selain itu, perlu ada jaminan perlindungan kerja bagi honorer selama proses pengangkatan berlangsung.

Memperjuangkan nasib honorer adalah bagian dari mewujudkan keadilan sosial di Indonesia. Mereka telah memberikan pengabdian terbaik meski berada dalam kondisi yang serba terbatas. Oleh karena itu, adalah kewajiban semua pihak untuk memastikan honorer mendapatkan penghargaan yang layak melalui status sebagai PPPK. 

Perjuangan ini bukan hanya tentang pekerjaan, tetapi juga tentang pengakuan terhadap pengabdian dan nilai kemanusiaan. Semoga pemerintah punya solusi terbaik untuk mengatasi persoalan ini sehingga mereka yang sudah mengabdikan dirinya bertahun-tahun, belasan tahun bahkan puluhan tahun bisa diakomodir lewat skema PPPK.

Berita Terkait